Minggu, 12 Januari 2014

Pewaris Para Nabi


Prof.Dr.KH.Miftah Faridl

       Salah satu hadits Nabi yang diriwaayatkan oleh Thabrani mengisyaratkan bahwa ulama merupakan pewaris tradisi para nabi. Dalam keseluruhan pesannya, hadits ininberkaitan dengan kesungguhan ulama dalam meningkatkan kemampuan ilmu serta konsekuensi teologisnya dengan imbalan sorga. Istilah "ulama" juga secara khusus disebutkan dalam Al Qur'an (salah satunya dalam Q.S Fathir: 28). Substansi pesan ayat ini  menggambarkan sikap tawadhu pada ulama di tengah kehidupan dirinya baik sebagai Hamba Allah maupun sebagai bagian dari masyarakatnya.

         Posisi luhur dan strategis ini memberikan isyarat pentingnya peran ulama dalam pembangunan manusia, baik berkaitan dengan mentalnya maupun fisiknya. Bahkan dalam beberapa hal, ia menjadi kekuatan moral yang memberikan benteng pertahanan atas beragam aktivitas dan fenomena kemanusiaan. Tidak berlebihan jika banyak kalangan yang senantiasa membutuhkan nasihat para ulama dalam proses pengambilan keputusan, baik dalam kaitannya dengan kebutuhan pribadi maupun kelompok dan masyarakat.

         Inilah, antara lain, beban moral yang dipikul lembaga keulamaan seperti halnya MUI ini. Cukup berat memang, tapi kita tidak boleh menyerah Meskipun pada praktinknya beban itu hampir selalu berada diantara tarikan-tarikan kepentingan yang sulit diterjemahkan dengan bahasa agama, MUI tetap berusaha menjadi penerjemah yang santun terutama bagi keutuhan masyarakat yang kerap menjadi korban tuntunan maupun kebijakan.


      Sebagai lembaga yang mewadahi para pemilik ilmu ('ulama), MUI khususnya di Kota Bandung senantiasa berusaha menciptakan iklim ilmiah dengan mengedepankan obyektivitas yang independen. Nuansa keilmuannya senantiasa mewarnai seluruh aktivitas yang diperankannya. Sehingga berbagai persoalan yang muncul bersamaan dengan arus perubahan masyarakat, secara bertahap telah dilihat dalam kacamata yang tetap mengedepankan obyektifitas. Sebab hanya dengan cara seperti inilah, paling tidak selama setengah periode ini, MUI mampu mempertahankan eksistensi dirinya sebagai lembaga yang berada di antara berbagai benturan sosial politik, dan bahkan pergumulan pemikiran keagamaan yang tidak pernah berhenti berubah.

       Dalam menghadapi kontroversi diseputar pembahasan Raperda Miras beberapa waktu yang lalu, misalnya, MUI Kota Bandung tetap istiqamah membawa suara umat sesuai ketentuan syariah, meski pada akhirnya, dalam keterbatasan kekuatan politik yang kita perankan, kontroversi itu pun berujung pada sebuah kompromi. Kita memang tidak sependapat dengan keputusan akhir yang ditetapkan lembaga legislatif, tapi demi keutuhan kerjasama dan pertimbangan kemaslahatan, kita pun dapat mengakhiri kontroversi itu. Tapi dari perspektif pertanggungjawaban moral kelembagaan sebagai benteng penegakan hukum agama, kita tetap berada pada jalur moral yag tak tergoyahkan kekuatan apapun.

        Sikap politik ini kita ambil karena kita sadar  betul bahwa sebagai lembaga penyangga moral yang independen, MUI harus tetap istiqamah pada  misi utamanya sebagai uswatun hasanah bagi komunitas yang berada dalam lingkaranp pembinaannya. MUI memiliki peran sebagai penjaga moral yang akan jadi ukuran baik-buruknya umat. Sebagai lembaga yang seharusnya selalu mengedepankan moral dan agama, MUI merupakan kekuatan moral bagi masa depan masyarakatnya.

          Meskipun demikian, agar tetap mampu berada pada arus zamannya. MUI ke depan dipandang perlu membangun paradigma baru sesuai dengan tuntunan zaman dan keadaan. MUI harus tetap mampu membawa citra keulamaannya di satu sisi, dan di sisi yang lain, MUI juga tetap elegan membina  kebersamaan melalui berbagai kerja sama kemitraan secara produktif. Dengan bangunan paradigma barunya itu, MUI dengan sendirinya akan menjadi lembaga independen, merdeka dalam menentukan sikap dan bebas mengelola masyarakat sesuai aspirasi dan sejalan dengan ajaran. Pada jalur independensi inilah MUI pun tetap ikut memikirkan upaya-upaya sistematis, logis, dan legal dalam ikut menuntaskan krisis moral,  khususnya krisis korupsi yang hingga kini masih kuat melilit Bangsa dan Negara.
      Selain ikut memikirkan persoalan-persoalan tersebut, MUI juga dituntut peran aktifnya dalam menciptakan situasi kondusif dalam merawat stabilitas yang kokoh dan teruji. Dalam waktu dekat misalnya, masyarakat kita akan kembali menghadapi pesta demokrasi tahun 2014. Pesta ini harus memberikan manfaat bagi masyarakat, dan oleh karenanya MUI pun harus ikut memikirkan langkah-langkah penyelamatan agar proses politik ini tetap bermanfaat. MUI memang bukan lembaga politik, tapi tidak berarti harus cuci tangan dari urusan-urusan politik. Idealnya MUI harus tetap memainkan peran strategisnya sebagai penjaga moral dari proses politik yang sering melahirkan ketidak harmonisan sosial yang sangat melelahkan dan bahkan merugikan masyarakat.

          Inilah diantara tema penting yang akan dihadapi ulama dari sisi kelembagaannya, yang salah satunya akan dirumuskan ke dalam langkah-langkah strategis dalam memasuki masa pengabdian selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar